Jakarta –
Mengambil kuliah double degree adalah keputusan yang punya banyak tantangan. Pasalnya, seorang mahasiswa harus berkuliah di dua tempat sekaligus.
Salah satu lulusan yang baru diwisuda di Universitas Gadjah Mada (UGM) yakni Nyi Raden Calvinca Naomi Poerawinata berbagi pengalaman menempuh double degree di Indonesia dan Belanda.
Lulusan cumlaude dengan Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,75 ini lulus dari Fakultas Hukum UGM. Selain kuliah di UGM, Vinca juga mengambil jurusan yang sama di European Law School, Maastricht University, Belanda.
“Saya bersyukur dan berterima kasih untuk dua kesempatan ini,” katanya, dilansir dari laman UGM, Kamis (5/12/2024).
Vinca diwisuda di UGM pada 21 November 2024 dan baru saja diwisuda di Maastricht University pada 5 Desember 2024. Ia berhak atas dua gelar. Gelar Sarjana Hukum (SH) dari Universitas Gadjah Mada dan Legum Baccalaureus (LLB) dari Maastricht University.
Menurut Vinca, menjalani program double degree di dua negara cukup berat. Bagaimana ia bisa merampungkan keduanya di waktu yang sama?
Sempat Alami Tahun-tahun Sulit
Vinca menempuh pendidikan di UGM pada tahun pertama yakni semester 1 dan 2. Kemudian, pada semester 3 ia menempuh studi di Maastricht University hingga semester 6.
Kemudian pada semester 7 dan 8, ia baru kembali ke UGM. Di tahun ke-4 akhirnya Vinca berhasil merampungkan skripsinya.
“Aku sungguh bersyukur bisa mengungkapkan perasaan terbaikku. Setelah mengalami tahun-tahun sulit namun aku yakini ini penuh manfaat,” ungkapnya.
Gemar Serukan Hak Disabilitas
Vinca sendiri gemar memperjuangkan hak-hak penyandang disabilitas. Oleh karena itu, tugas akhirnya di kedua kampus memiliki topik yang sama yakni seputar hak penyandang disabilitas.
Sebelumnya, Vinca pernah menjadi sukarelawan yang membantu anak-anak berkebutuhan khusus. Ia melihat bagaimana perbedaan pemenuhan hak disabilitas di Indonesia dan Eropa.
“Sungguh senang saya berkesempatan bertemu dengannya yang pada akhirnya menjadi supervisor sekaligus memotivasi dan menginspirasi saya dalam melakukan penelitian dan menulis skripsi dan tesis,” terangnya.
Adapun tugas akhir Vinca berjudul Pendidikan Tinggi Inklusif bagi Penyandang Disabilitas: Evaluasi Implementasi Pasal 24(5) Konvensi Hak-Hak Penyandang Disabilitas untuk menempuh pendidikan di Indonesia – Studi Kasus di Universitas Gadjah Mada.
“Saya sadar, ada perbedaan taraf hidup antar masyarakat Indonesia dan Eropa,” ungkapnya.
Bersyukur Dapat Kuliah di Eropa
Hal lain yang selalu disyukuri Vinca sejauh ini adalah kesempatan bisa berkuliah di Belanda. Menurutnya, kuliah di Maastricht University membukakan banyak perspektif baru.
“Ini yang membuat seorang penggila hukum seperti saya sangat senang,” katanya.
Selain belajar hukum, Vinca juga aktif mengikuti kompetisi internasional dan mewakili lembaga swadaya masyarakat (LSM) di Belanda untuk maju di Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
“Ini menambah pengalaman luar biasa bagi saya,” katanya.
Ada salah satu keunikan saat Vinca belajar di Maastricht University. Sebelum kelas, ia dan mahasiswa lain harus membaca 80-100 halaman untuk menyiapkan jawaban dalam berbagai studi kasus yang didiskusikan secara kolektif di kelas.
Selama di Belanda, Vinca menjalani kehidupan berkuliah dengan riang. Ia selalu bangun pagi, membawa bekal, dan bersepeda menuju kampus.
“Seperti saat di UGM, saya pun senang pergi ke Taman Kearifan (Wisdom Park UGM) dan jalan-jalan, lalu bersama teman-teman jalan kaki menuju kelas, makan siang, lalu berlanjut kerja di kafe dan tetap menjadi sukarelawan di akhir pekan,” imbuh Vinca.
(cyu/pal)