Jakarta –
Baru-baru ini viral seorang guru asal Sukabumi bernama Alvi Noviardi memulung usai mengajar. Ia mengaku sudah menjalaninya sebagai kerja sampingan selama 36 tahun.
Alvi sendiri diketahui merupakan satu dari ribuan guru honorer di Indonesia. Kisahnya menjadi sorotan banyak pihak terkait masalah kesejahteraan guru honorer, salah satunya Dede Yusuf, anggota Komisi X Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Republik Indonesia (RI).
“Pemerintah perlu segera meninjau kembali struktur upah bagi guru honorer, serta menetapkan standar minimum yang jelas agar mereka mendapatkan gaji yang sesuai dengan peran penting yang mereka emban,” kata Dede dalam keterangan resminya, Kamis (17/10/2024).
Menurutnya, kesejahteraan guru sangat berdampak pada kualitas layanan pendidikan. Gaji yang layak berpengaruh pada motivasi mereka mengajar.
“Guru honorer juga berhak mendapat penghasilan yang layak, jaminan sosial, perlindungan kerja, serta akses yang adil terhadap pelatihan dan pengembangan profesional,” tambah Dede.
Kesejahteraan Guru RI Masih di Bawah Standar
Kemudian Dede merujuk pada laporan IDEAS pada Mei 2024 yang menyebutkan 74% guru honorer penghasilannya masih di bawah Rp 2 juta. Juga, 13% guru PNS dan 20,5% guru honorer masih di bawah Rp 500 ribu.
Sebanyak 55,8% guru pun menyatakan bahwa mereka mempunyai kerja sampingan. Sebanyak 79,8% bahkan berutang untuk memenuhi kebutuhannya.
Adapun riset NoLimit melaporkan sebanyak 42% masyarakat yang terjerat pinjaman online (pinjol) mereka adalah guru. Hal ini menurut Dede tak bisa terus dibiarkan.
“Sebenernya kan tugas negara untuk memastikan para guru yang memiliki tugas mulia mendidik anak bangsa dapat hidup dengan sejahtera,” tuturnya.
Dede melihat guru ASN dan guru tenaga harian lepas (THL) memiliki porsi pekerjaan yang sama. Mereka sama-sama harus mendapatkan penghasilan layak, jaminan sosial, perlindungan kerja, dan akses terhadap pengembangan profesional.
“Pemerintah perlu segera meninjau kembali struktur upah bagi guru honorer, serta menetapkan standar minimum yang jelas agar mereka mendapatkan gaji yang sesuai dengan peran penting yang mereka emban,” kata Dede.
Anggaran Pendidikan Harus Lewat Satu Pintu Saja
Menurut Dede anggaran pendidikan saat ini tidak diatur lewat satu pintu. Hal ini penting dalam memutuskan langkah tepat dalam peningkatan kesejahteraan guru
“Kalau anggaran pendidikan bisa diatur satu pintu, harapannya setiap unsur di sektor pendidikan bisa dipantau secara terpusat. Misalnya mengenai proses kebutuhan guru dan bagaimana peningkatan kesejahteraan mereka,” jelas Dede.
Anggaran pendidikan saat ini masih tersebar di beberapa kementerian/lembaga. Dede berpendapat harusnya anggaran pendidikan ada di satu pintu saja yakni Kementerian Pendidikan.
“Amanat konstitusi dan juga Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (Sindikasi) mengatakan bahwa pendidikan itu tidak boleh digunakan untuk kementerian atau lembaga kedinasan. Tapi realitanya Rp 147 triliun masih dipakai untuk pendidikan kedinasan,” ujar Dede.
Berdasarkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), anggaran pendidikan besarnya 20% dari total anggaran. Akan tetapi anggaran sebesar itu tersebar ke banyak kementerian.
“Padahal anggaran Kemendikbud-nya sendiri hanya Rp 90 triliun. Artinya jomplang,” tambahnya.
(cyu/nah)