Jakarta –
Wacana sekolah khusus korban kekerasan belakangan disampaikan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah (Mendikdasmen) Abdul Mu’ti. Termasuk di antaranya yaitu korban kekerasan seksual.
Merespons wacana ini, Komisioner Komisi Nasional (Komnas) Perempuan Satywanti Mashudi menilai sekolah khusus bagi korban kekerasan seksual tidak boleh eksklusif. Catatan ini menurutnya penting agar rasa percaya diri para siswa korban justru tidak makin turun saat beraktivitas di sekolah.
“Mungkin cuma catatannya, jangan sampai nanti sekolah khusus ini menjadi sesuatu yang eksklusif gitu saja, karena tujuannya kan inklusi ya, sehingga kemudian nanti kalau jadinya eksklusif malah itu akan lebih memberatkan buat korban,” kata Satywanti dalam kegiatan daring 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (16HAKTP), dilansir Antara, Senin (25/11/2024).
ADVERTISEMENT
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
Ia berpendapat, jika sekolah dibentuk secara khusus hanya untuk para siswa korban kekerasan seksual, sang anak yang dikumpulkan dalam satu ruang belajar tersebut justru akan lebih terbebani.
Alih-alih mengumpulkan mereka dalam satu sekolah yang sama, Satywanti menilai hal yang lebih penting dilakukan yakni mengedukasi masyarakat dan lingkungan. Tujuannya untuk menghapus stigma pada siswa korban kekerasan seksual.
“Kalau jadinya eksklusif malah itu akan lebih memberatkan buat korban, karena dia menjadi tereksklusi dari lingkungan dan sebagainya. Sementara yang menjadi fokus itu kan sebenarnya bagaimana kemudian edukasi publik, untuk tidak terus-menerus bersikap menyalahkan korban,” jelasnya.
Wacana Konsep Sekolah Khusus Korban Kekerasan
Sebelumnya, Mendikdasmen Abdul Mu’ti mengatakan wacana sekolah khusus korban kekerasan berangkat dari risiko hilangnya kesempatan pendidikan bagi anak-anak yang menjadi korban kekerasan.
“Karena selama ini mereka seperti kelompok yang terbuang di masyarakat. Sudah menjadi korban, mereka juga kehilangan kesempatan belajar,” tutur Menteri Mu’ti kepada detikEdu di kantornya, Jl Jenderal Sudirman, Senayan, Jakarta, Selasa (19/11/2024).
Mu’ti menjelaskan, bentuk sekolah korban kekerasan tidak harus berbasis sekolah formal. Opsi lainnya yaitu rumah belajar, pesantren khusus yang bekerja sama dengan lembaga agama, panti asuhan, hingga lembaga kesejahteraan sosial anak (LKSA).
Khusus panti asuhan, Mu’ti menekankan bahwa para siswa tidak harus tinggal di sana. Namun, anak-anak tersebut pergi ke sana untuk belajar bersama, meningkatkan kemampuan. Untuk itu, pembelajaran yang diberikan tidak harus berbasis sekolah, tetapi juga dapat berbasis keterampilan hidup (life skills).
“Intinya, mereka harus tetap bisa belajar dan mengembangkan diri,” ucapnya.
Jika siswa korban kekerasan di lembaga pendidikan nonformal tersebut hendak memiliki ijazah, maka ia dapat mengikuti ujian kesetaraan Paket A, B, atau C sesuai jenjang pendidikan dan kompetensi masing-masing.
“Pembelajaran tidak harus di sekolah formal. Ini kan harus kita buka aksesnya. Kalau mereka tidak mau, ya nggak apa-apa. Yang penting mereka belajar dan kita juga belajar. Sifatnya masih eksplorasi,” kata Mu’ti.
Soal stigma, Mu’ti mengatakan masih ada pandangan negatif dan diskriminasi sehingga anak korban kekerasan ditolak di lingkungan pendidikan. Kondisi ini berisiko membuat anak justru makin tidak terbuka akan kekerasan yang ia alami dan berisiko kehilangan kesempatan pendidikan.
Untuk itu, ia mengatakan Kemendikdaksmen juga akan mendata lebih lanjut Pusat Kegiatan Belajar Masyarakat (PKBM) inklusif. Dari situ, pihaknya berencana mengembangkan PKBM afirmasi dan/atau membuat PKBM baru. Ia berharap ke depannya dapat bekerja sama dengan banyak pihak.
“Artinya semua bisa kita ajak, kita libatkan. Tidak harus semua hal itu dikerjakan sendiri oleh pemerintah. Nggak akan mampu kita,” ucapnya.
(twu/nwk)