Jakarta –
Rancangan Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional yang diinisiasi Komisi X DPR merupakan salah satu RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas Tahun 2025.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji menyampaikan masukannya atas RUU tersebut. RUU ini masih jadi polemik di tengah masyarakat.
Ubaid mengatakan UU Sisdiknas harus mampu menjawab hak-hak siswa dalam belajar. Termasuk juga menutup celah komersialisasi.
SCROLL TO CONTINUE WITH CONTENT
” Di dalam RUU, harus dengan tegas disebutkan bahwa pendidikan adalah hak konstitusional setiap warga negara, tidak boleh dikomersialisasi,” katanya dalam Seminar Nasional Pendidikan: RUU Sisdiknas dan Komitmen Negara dalam Pemenuhan Hak Pendidikan untuk Semua via Zoom, Selasa (29/4/2025).
Kemudian ia mendesak Komisi X DPR RI untuk segera mempublikasikan draf RUU Sisdiknas yang merupakan Perubahan atas UU Nomor 20 Tahun 2003.
“DPR RI, Komisi X harus transparan dan membuka ruang partisipasi bagi masyarakat sipil dan kelompok marginal dalam pembahasan revisi UU Sisdiknas,” tambahnya.
Menurut Ubaid, beberapa isu kontroversial perlu DPR tinjau secara matang. Mulai dari isu privatisasi dan komersialisasi pendidikan, skema pembiayaan pendidikan, sentralisasi vs desentralisasi, dan kesejahteraan guru.
Ketentuan yang Perlu Diperbaiki dalam RUU Sisdiknas
Ubadi bersama JPPI telah membedah UU Sisdiknas 2003 yang masih berlaku hingga kini. JPPI menilai ada beberapa ketentuan dalam UU tersebut yang masih rancu. Ketentuan ini perlu diperbaiki dalam RUU Sisdiknas mendatang. Berikut di antaranya:
1. “Peruntukan 20% dana pendidikan” (pasal 49)
Ubaid mengatakan bagian ini perlu dijabarkan. Dana apakah berfokus pada Kemendikdasmen, Kemendikti, dan Kemenag saja atau termasuk pembiayaan lain misalnya honor guru dan lainnya.
2. “Konsep badan hukum lembaga pendidikan yang bersifat nirlaba” (pasal 53)
Penggunaan diksi nirlaba masih membingungkan dan terbukti tidak mampu menghindari jebakan komersialisasi.
3. “Badan khusus pendidikan untuk melindungi praktik komersialisasi layanan pendidikan”
Kutipan “badan hukum khusus” ini perlu kemudian dibuat untuk berbagi aturan sesuai dengan karakteristik pendidikan. Juga aturan yang spesifik untuk mencegah terjadinya komersialisasi yang berlebihan dalam penyelenggaraan pendidikan.
4. “Jaminan kesejahteraan guru” (pasal 34 ayat 1,2,3)
Ini harus mampu menjawab kesenjangan kesejahteraan guru yang tidak berkeadilan, dan perlakuan yang dibeda-bedakan.
5. “Sentralisasi dan desentralisasi”
Ubaid menyebut ketentuan ini harus diatur ulang, mana saja yang menjadi kewenangan pusat dan daerah. Misalnya pengangkatan guru dan distribusinya.
6. “Sistem evaluasi pendidikan” (pasal 57, 58, 59)
Ketentuan ini harus merujuk pada evaluasi atas sistem pendidikan yang bersifat menyeluruh dan terintegrasi. Jangan hanya mengevaluasi dari sisi peserta didik.
Ketentuan yang Harus Dipertahankan dalam RUU Sisdiknas
1. “Satu sistem” (Bab Menimbang butir b)
Istilah ini telah menunjukkan bahwa pemerintah menyelenggarakan suatu sistem pendidikan yang tidak membeda-bedakan dan tidak berujung perlakuan diskriminatif.
2. “Tanggung jawab negara” (pasal 1 ayat 8)
Wajib belajar adalah program pendidikan minimal atas tanggung jawab pemerintah dan pemerintah daerah.
3. “Partisipasi masyarakat dan pelembagaan dalam komite/dewan” (pasal 8 dan pasal 56)
Masyarakat berperan dalam peningkatan mutu pelayanan pendidikan yang meliputi perencanaan, pengawasan, dan evaluasi program pendidikan melalui dewan pendidikan dan komite sekolah/madrasah.
4. “Akses tanpa dipungut biaya di program Wajib Belajar” (pasal 34 ayat 1, 2, dan 3)
Warga negara dengan usia tertentu harus mengikuti wajib belajar dan pemerintah menanggung pembiayaan.
5. “Desentralisasi kurikulum” (pasal 38 ayat 2)
Kurikulum pendidikan dasar dan menengah dikembangkan sesuai relevansi oleh satuan pendidikan dan komite sekolah madrasah di bawah koordinasi dinas pendidikan/kantor Kemenag.
(cyu/pal)